MAQAM-MAQAM DALAM TASAWUF
A. Pengertian
Maqam dalam Tasawuf
Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqam. Secara
etimologi maqam mengandung arti kedudukan dan tempat berpijak dua telapak
kaki. Menurut terminology, istilah maqam
mengandung pengerrtian kedudukan, posisi, tingkatan, atau kedudukan tahapan
hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut Abdurrazaq Al-Qasami, maqam adalah pemenuhan
terhadap kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkkan. Jika seseorang belum
memenuhi kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam suatu maqam, ia tidak boleh
naik ke jenjang yang lebih tinggi.
Menurut Imam Al-Qusairi, yang dimaksud dengan maqam
adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam wushul kepada-Nya dengan
bermacam-macam upaya yang diwujudkan dengan suatu tujuan pencapaian dan ukuran
tugas. Masing-masing berbeda dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi
tersebut, serta tingkah laku riyadhah menuju kepada-Nya.[1]
Menurut Dzu An-Nun Al-Mishri, maqam-maqam dapat
diketahui berdasarkan tanda-tanda,
symbol-simbol dan amalannya. Oleh karena itu, keberhasilan menjalani maqamat
merupakan penilaian yang berasal dari Allah, sekaligus mencerminkan kedudukan
seorang salik dalam pandangan-Nya.
Menurut
Evelyn Underhill, jalan mistik sebagai jalan yang dilewati oleh seorang salik
menuju jalan Allah. Langkah-langkah dalam proses itu adalah[2]
1.
Bangkitnya kesadaran (awakening)
2.
Pembersihan (purification)
3.
Penerangan (illumination)
4.
Malam gelap jiwa (the dark night state)
5.
Kesadaran bersatu (the unitive state)
Maqam-maqam
itu harus dilalui oleh seorang salik secara bertahap. Menurut seoranf arif,
mencapa suatu maqam tanpa melalui maqam sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak
mungkin. Sesuatu yang menyulitkan adalah bahwa sufi berbeda dalam mengonstruksi
urutan-urutan maqam dalam tasawuf. Namun, hal ini akan dijembatani oleh syaikh
untuk memberikan petunjuk kepada murid.
Al-Ghazali memberikan urutan maqam seperti berikut :
taubat, sabar, syukur, khauf, raja’, tawakkal, mahabbah, ridha, iikhlas,
muhasabah, dan muraqabah.
Sementara
itu, As-Suhrawardi dalam bukunya Al-‘Awarif Al-Ma’arif merumuskan maqam sebagai
berikut: taubat, wara’, zuhud, sabar, fakir, syukur, khaouf, tawakkal dan
ridha.
Menurut Ibnu Arabi dalam Al-Futuhat Al-Makkiyah,
menyebutkan enam puluh maqam dan berusaha menjelaskan secara rinci, tetapi
tidak begitu mempedulikan sistematika maqam tersebut. Dalam menempuh itu, sufi
atau calon sufi senantiasa melakukan bermacam-macam ibadah, mujahadah dan
kontemplasi yang sesuai dengan ajaran agama.
Maqam pertama yang harus ditempuh oleh sufi atau
calon sufi adalah taubat. Setelah itu, ia akan menempuh beberapa maqam yang
lain, yaitu mujahadah (kesungguhan), khalwat (bersunyi diri), uzlah (menyingkir
diri dari masyarakat), takwa, wara’ (mengekang dan menahan diri), zuhud, sahar
( berjaga pada malam hari), khaouf (takut dan cemas) dan raja’ (harap).[3]
B.
Maqam-Maqam
Dalam Tasawuf
1. Taubat
Taubat secara etimologi adalah kembali, meminta
pengampunan. Dalam perspektif sufistik, taubat dimaknai sebagai kembali dari
segala perbuatan tercela menuju perbuatan terpuji sesuai dengan ketentuan
agama. Taubat adalah kembali menuju kebenaran, perubahan hati, juga berarti
penyesalan.[4]
Taubat merupakan tahapan pertama yang ditempuh oleh
sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Taubat adalah asal semua maqam dan
dasrnya, sebagai pembuka setiap hal. Taubat adalah permulaan dari maqamat.
Taubat yang dimaksud sufi adalah taubat yang sebenar-benarnya, taubat yang
tidak akan membawa dosa lagi.
Taubat
terdiri dari tiga komponen yaitu :[5]
1.
Ilmu
2.
Hal (kondisi)
3.
Amal Perbuatan
Ilmu adalah mengetahui bahaya yang muncul dari dosa.
Dosa dapat menjadi hijab (penghalang) antara seorang hamba dan penciptanya yang
dicintai. Apabila seseorang telah mengetahui hal ini dengan penuh keyakinan di
dalam hati, maka akan muncul rasa sedih ketika sesuatu yang dicintainya hilang
dari dirinya.
Semua harus diawali dengan ilmu karena dengan ilmu
akan membawa ke arah kebaikan, yaitu dengan melahirkan iman dan yaqin. Iman
adalah mempercayai bahwa dosa merupakan racun yang menghancurkan, sedangkan
yaqin adalah meyakinkan apa yang dipercayai dan menghilangkan keraguan bahwa
dosa itu adalah racun yang menghancurkan. Pada akhirnya akan membuahkan cahaya
hati yang dapat merasakan penyesalan atas kemaksiatan yang pernah dilakukannya
dan merasakan bahwa kemaksiatan itu telah menjadi hijab (penghalang) antara ia
dan Allah Zat yang sangat dicintainya.
Taubat juga sering diartikan dengan penyesalan.
Selanjutnya, buah dari penyesalan itu adalah meninggalkan apa yang membuatnya
menyesal.
Rasulullah
SAW bersabda, “ Penyesalan adalah taubat.” (Ibnu Maajah, Ibnu Hibban dan
Hakim).
Dengan pengertian ini dikatakan bahwa taubat adalah
mencairkan apa yang ada di dalam hati karena kesalahan yang pernah dilakukan,
hal ini terjadi karena semata-mata rasa sakit.
Dikatakan
pula, “Taubat adalah api yang menyala di dalam hati.”
Taubat
adalah melepaskan pakaian kepalsuan dan mengenakan pakaian kesetiaan.
Sahal bin Abdillah at-Tastari berkata, “Taubat
adalah mengganti perbuatan tercela dengan perbuatan terpuji. Hal itu tidak
dapat terealisasi kecuali dengan menyendiri, diam dan makan-makanan yang
halal.” Ia seakan-akan mendefinisikan taubat dengan makna ketiga (amal
perbuatan).[6]
Definisi taubat yang diberikan oleh para ulama
sangat banyak sekali, akan tetapi dengan mengerti tiga makana taubat (ilmu, hal
(kondisi), dan amal perbuatan), maka akan dapat mencakup seluruh definisi yang
diberikan para ulama. Sesungguhya mengetahui hakikat permasalahan lebih penting
daripada mengetahui definisi-definisi secara tekstual.
Allah
Ta’ala telah memerintahkan agar bertaubat dalam firman-Nya,[7]
“…dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.” (An-Nuur : 31)
“Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuha
(taubat yang semurni-murninya).” (At-Tahrim :8)
Sedangkan
Nabi SAW bersabda,
“Wahai
sekalian manusia, bertaubatlah kalian semua kepada Allah. Sesungguhnya aku
bertaubat kepada Allah dalam sehari seratus kali.” (Diriwayatkan Imam Bukhari
dan Imam Muslim).
Taubat
selamanya wajib hukumnya. Manusia tidak lepas dari kemaksiatan. Sekalipun lepas
dari kemaksiatan anggota badan, namun tidak lepas dari keinginan melakukan dosa
didalam hatinya. Jika dia lepas dari semua itu, namun dia tidak akan lepas dari
bisikan syetan yang memunculkan berbagai macam yang timbul di hati yang
terpisah-pisah dan menjauhkan orang dari dzikir kepada Allah Ta’ala. Jika dia
lepas dari itu namun tidak lepas dari kelalaian dan keterbatasan ilmu tentang
Allah Ta’ala dengan segala sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya. Semua itu
adalah kekurangan dan setiap orang tidak akan lepas dari kekurangan ini. Akan
tetapi setiap manusia bertingkat-tingkat kemampuannya dan prinsip dalam semua
itu harus memilikinya.[8]
ü Kesempurnaan
taubat dan syarat-syaratnya
Diantara syarat-syarat taubat yang benar adalah azam
(kemauan yang keras) untuk tidak mengulangi dosa-dosa itu d masa yang akan
datang, tidak juga mengulangi dosa yang semacamnya. Dia harus berazam yang
demikian dengan sekuat-kuatnya. Perumpamaan yang demikian itu adalah seperti
orang sakit yang mengetahui bahwa buah-buahan berbahaya ketika ia sedang sakit,
lalu dia berazam sangat kuat untuk tidak memakannya sedikit pun dari jenis
buah-buahan selama dia masih dalam keadaan sakit.[9]
Telah
disebutkan bahwa orang yang bertaubat dia harus melakukan berbagai amal yang
berlawanan dengan kejahatan apa dilakukannya agar menghapus dan
mengkaffarahnya. Amal-amal kebaikan yang menghapus adalah dengan hati dan lisan
serta anggota badan sesuai dengan jenis kejahatannya. Apa-apa yang dengan hati
seperti merengek dan merendahkan diri. Sedangkan dengan lisan adalah pengakuan
akan kezhaliman yang ia lakukan dan istigfar. Seperti mengucapkan, “Wahai
Rabbku, aku telah berbuat zhalim maka ampunilah aku.”
Tanda
tobat itu sendiri adalah adanya penyesalan, kesedihan, meneteskan air mata
banayk menangis dan bertafakkur, sedangkan syarat diterimanya taubat atas
kemaksiatan yang telah dilakukan pada masa lalu (madhi) adalah mengingat apa
yang telah dilakukan sejak ia baligh atau ketika pertama kali mimpi junub,
seperti ibadah-ibadah yang telah ditinggalkan pada tahun demi tahun, bulan demi
bulan, hari demi hari, waktu demi waktu. Selain itu juga meninggalkan
ibadah-ibadah yang dilakukan dengan tidak sempurna. Kemudian mengingat kemaksiatan-kemaksiatan
yang pernah dilakukan .
Contoh:
Apabila
ia meninggalkan sholat atau mengerjakan sholat dengan memakai pakaian yang
najis atau mengerjakan sholat dengan niat yang tidak benar karena kebodohan
akan syarat-syarat niat, maka ia harus mengqadha sholatnya. Sekiranya ia ragu
dengan jumlah sholat yang telah ditinggalkan, maka hitunglah jumlah sholat
mulai ia baligh, dengan dipotong beberapa waktu yang benar-benar diyakininya
telah ia kerjakan. Ia harus menghitung sholat-sholat yang telah ditinggalkan
sesuai dengan prasangka yang kuat.
Apabila
meninggalkan puasa, baik meninggalkan puasa karena dalam perjalanan dan ia
belum membayarnya (qadha) atau ia berbuka puasa dengan sengaja, atau ia lupa
niat pada malam harinya, maka ia harus mengqadhanya, yaitu dengan cara
menghitung hari-hari yang ia tidak berpuasa.
2.
Zuhud
Zuhud atau asketisme secara etimologi berasal dari
kata zahada, artinya raghiba ‘anhu wa taraka (benci dan meninggalkan sesuatu).
Secara terminology, zuhud ialah menjauhkan diri dari segala sesuatu yang
berkaitan dengan dunia.[10]
Zuhud merupakan pendekatan penting dalam tahap awal perjalanan spiritual, namun
tidak dianjurkan bagi seseorang yang hendak mencapai kesempurnaan. Sebab
asketisme ini mengabaikan sebab-sebab sekunder, padahal melalui sebab-sebab
sekunder inilah manusia mendapatkan pengetahuan tentang Allah.
Menurut Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A. bahawa
secara terminologi zuhud tidak dapat dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud
sebagai bagian tidak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral
(akhlak) Islam dan gerakan protes. Apabila tasawuf dartikan adanya kesadaran
dan komunikasi langsung antara manusia dan Tuhan sebagai perwujudan ihsan maka
zuhud merupakan suatu maqam menuju tercapainya perjumpaan atau ma’rifat
kepadanya.
Zuhud
adalah sebuah ungkapan yang menunjukkan berkurangnya kesenangan akan sesuatu
karena menginginkan yang lebih baik dari itu.
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga
tingkatan. Pertama (terendah), menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman
di akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga,
mengucilakn dunia bukan karena takut atau karena berharap, tetapi karena cinta
kepada Allah belaka. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan
memandang segala sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai arti apa-apa.
Menurut
imam Al-Ghazali, ciri-ciri zuhud adalah :[11]
1. Tidak
senang apabila memiliki sesuatu dan tidak bersedih ketika kehilangan sesuatu
(zuhud dalam harta). Allah berfirman, “…..Supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira
terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu….”(al-hadid : 23).
2. Menganggap
sama antara pujian dan celaan (zuhud dalam kedudukan).
3. Hatinya
dipenuhi dengan kecintaan kepada Allah,
meskipun tidak dapat lebih daripada kecintaan kepada dunia dan kecintaan kepada
Allah. Keduanya ibarat air dan udara dalam gelas di hati. Apabila air
dimasukkan ke dalam gelas, maka udara akan keluar, begitu pula apabila
ditiupkan udara, air akan keluar. Air dan udara tidak mungkin dapat disatukan.
Ahli
ma’rifah berkata, “ Apabila iman seseorang bergantung dengan hatinya, maka ia
akan mencintai Allah dan dunia bersama-sama. Akan tetapi, apabila iman telah
masuk ke lubuk hatinya, maka ia akan membenci dunia.”
Abu
Sulaiman berkata “ Barangsiapa yang sibuk dengan dirinya, maka ia tidak akan
disibukkan dengan orang lain. Ini merupakan maqam orang-orang yang beramal.
Barangsiapa sibuk dengan Tuhannya, maka ia tidak disibukkan dengan dirinya
sendiri. Ini merupakn maqam ma’rifah (‘arifiin). Orang yang zuhud harus
memiliki salah satu dari dua sifat ini. Maqam yang pertama (‘amiliin) akan
menyibukkan dirinya dengan dirinya sendiri. Pada saat itu, bagi-Nya sama antara
pujian dan celaan atau ada dan ketiadaan. Tidaklah dengan memiliki harta
menjadikan orang tidak mempunyai sifat zuhud.”
Jadi,
ciri-ciri sifat zuhud adalah kondisi yang sama ketika dalam keadaan miskin atau
kaya, mulia atau terhina, pujian atau celaan. Semua itu disebabkan keakrabannya
dengan Allah.
Yahya
bin Mu’adz berkata, “Ciri-ciri sifad zuhud adalah dermawan atas apa yang
dimiliki.”[12]
Ibnu
Khalif berkata, “ciri-ciri sifat zuhud adalah merasa tenang ketika sesuatu
miliknya. Zuhud adalah menghindari dunia tanpa terpaksa.”
Ahmad
bin Hanbal dan sufyan ats-Tsauri berkata, “Ciri-ciri zuhud adalah tidak panjang
angan-angan.”
3.
Faqr
(Fakir)
Fakir secara etimologi artinya membutuhkan atau
memerlukan. Kata fakir mengandung pengertian miskin terhadap spiritual atau
hasrat yang sangat besar terhadap pengosongan jiwa untuk menuju kepada Allah.[13]
Dalam term sufi pengertian fakir
menunjukkan kepada seseorang yang telah mencapai akhir “lorong spiritual”.
Menurut Ibnu Qudamah bahwa semu orang itu fakir, karena mereka membutuhkan
kepada kemurahan Tuhan.
Fakir dapat berarti sebagai kekurangan harta dalam
menjalankan kehidupan di dunia. Sikap fakir penting dimiliki oleh orang yang
berjalan menuju Allah, karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan
manusia lebih dekat pada kejahatan dan sekurang-kurangnya membuat jiwa
tertambat pada selain Dia.
Menurut
Al-Ghazali, fakir dibagi dalam dua macam, yaitu sebagai berikut :[14]
a. Fakir
secara umum, yaitu hajat manusia kepada yang menciptakan dan yang menjaga
eksistensinya. Fakir seperti ini adalah fakir seorang hamba kepada Tuhannya.
Sikap seperti ini hukumnya wajib karena menjadi sebagian iman dan sebagai buah
dari ma’rifat.
b. Faqir
muqayyad (terbatas), yaitu kepentingan yang menyangkut kehidupan manusia,
seperti uang yang belum dimiliki atau dengan kata lain kepentingan manusia yang
dapat dipenuhi oleh selain Allah.
Sufi tidak melarang seseorang yang fakir
untuk menerima pemberian dan bantuan orang lain, baik yang berupa fasilitas
maupun materi. Jadi pada dasarnya berusaha meninggalkan syubhat dan hanya
mencari yang halal. Jika maqam fakir telah sampai pada puncaknya, yaitu
mengosongkan seluruh hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja selain
Tuhan, maka maqam itu merupakan perwujudan penyucian hati secara keseluruhan
terhadap apa yang selain-Nya.
4.
Syukur
Syukur
secara etimologi ialah membuka dan menyatakan. Adapun menurut terminologi
tasawuf, syukur ialah menggunakan nikamat Allah untuk taat dan tidak
menggunakannya untuk berbuat maksiat kepada-Nya[15].
Orang yang menggabungkan sabar dengan syukur adalah orang yang memiliki hikmah.
Syukur
merupakan pengetahuan yang membangkitkan kesadaran bahwa satu-satunya pemberi
nikmat adalah Allah dan cakupan rahmat-Nya sangat luas. Keutamaan syukur
mengungguli peringkat lainnya dalam maqamat bahwa taubat, zuhud dan sabar tidak
berlaku lagi di akhirat. Orang tidak memerlukannya lagi di syurga, tetapi
bersyukur tetap dilakukan.
Bersyukur itu
terbagi menjadi tiga bagian, yang diantaranya bersyukur dengan lisan, maksudnya
ialah mengakui segala kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah SWT. kepada
hamba-Nya dengan sikap merendahkan diri. bersyukur dengan badan, yakni Bersikap
selalu sepakat serta melayani (mengabdi) kepada Allah SWT. bersyukur dengan
hati, yaitu : Mengasingkan diri di hadapan Allah SWT. dengan cara konsisten
menjaga akan keagungan Allah SWT.
Bersyukurnya
orang dengan lisan itu biasanya adalah syukur yang berilmu. Sedangkan syukur
dengan badan itu biasanya adalah orang yang beribadah, kenyataan ini dapat
direalisasikan dengan bentuk perbuatan. Akan tetapi syukur dengan hati adalah
syukurnya orang yang ahli ma'rifat, dan ini dapatlah direalisasikan dengan cara
ihwal secara konsisten.
Manusia
pada umumnya adalah mempunyai sifat lalai dan tidak menyadari bahwa nilai suatu
nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepada dirinya. Maka dia baru terasa
apabila nikmat itu dicabut dari dirinya, maka dia barulah merasakan dan
menyadarinya, contohnya adalah nikmat berupa kesehatan jasmani dan juga
kesehatan rohani dan sebagaimana dalam hal ini Allah telah berfirman mengenai
hidup. Kehidupan di dalam surat An-Naml ayat 40 yang artinya:
Barangsiapa
yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri
dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha
Mulia".
5.
Sabar
Sabar menurut terminologi bahasa,
artinya menahan dan mencegah diri. Allah telah berfirman :
“Dan
sabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Tuhanya di pagi dan
petang hari dengan mengharap keridaan (wajah)-Nya”. (Qs. ALKhafi;28)
Sikap sabar dibutuhkan seorang pencari jalan
untuk mendapatkan apa yang berada disisi Allah. Sikap sabar yang sesungguhnya
adalah pada saat memperoleh cobaan yang pertama. Bagi Al-Jailani, dunia ini
penuh dengan penderitaan dan musibah, tidak ada satu kenikmatan pun, kecuali di
didalamnya ada bencana, tidak ada satupun kegembiraan, kecuali disertai
kekhawatiran, dan tidak ada satupun keluasan kecuali bersamanya ada kesempitan
( al-Fath al –Rabbany, hal. 29).
Maka, wajar jika kedudukan sabar dalam Al-Quran disamakan dengan kedudukan
shalat oleh allah, hanya mereka yang “khusyuk” yang dijamain allah dapat
melampaui ujian kesabaran dan shalat tersebut.
“Jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (Qs. AL-Baqarah;45)
Menurut Al-Jailani, kesabaran merupakan
salah satu penghapus hijab antara hamba dan Tuhanya. Al-Jailani menuturkan
bahwa hal-hal yang dapat menghilangkan penghalang tersebut, antara lain yang
terpenting adalah menjauhi segala kemaksiatan, bersabar saat datang kesulitan,
ridha kertika datang ketentuan dan takdir, serta bersyukur ketika datang
kenikmatan ( al-Fath al –Rabbany,
hal. 193). Barang siapa tidak punya kesabaran maka tiada sarana yang dapat
menolongnya. Allah menggantungkan pertolongan dengan kesabaran dan ketakwaan.
“Ya
(cukup), jika kamu bersabar dan bertakwa, dan mereka datang menyerang kamu
dengan seketika itu juga, niscaya allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat
yang memakai tanda .” (Qs. Ali Imran:125)
Terkait dengan berbagai penjelasan
tentang pentingnya kesabaran dalam dalam mengelola nafsu atau jiwa untuk
berjalan menuju Allah maka dalam Al-Quran disebutkan berbagai jenis kesabaran
yang utama, diantaranya :
a) Sabar
dalam menghadapi berbagai cobaan di dunia
“ Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.”
(Qs.Al-Balad:4)
b) Sabar
untuk tidak memperturutkan kemauan yang diinginkan oleh hawa nafsu. Sehubungan
dengan hal ini, Allah Swt. Telah berfirman
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu
melalaikan kamu dari mengigat Allah. Barang siapa yang mengerjakan hal tersebut
maka sungguh mereka itu termasuk golongan orang yang merugi .” (Qs.
Al-Munaafiquun :9)
c) Tetap
bersabar, tidak pernah melirik pada kesenangan yang dimiliki oleh orang lain
dan tidak terpedaya oleh harta serta anak-anak yang dimiliki oleh mereka
d) Sabar
dalam mengerjakan ketaatan kepada Allah. Hal ini merupakan jenis sabar yang
paling besar dan yang paling berat dirasakan oleh jiwa manusia.
e) Sabar
dalam menanggu derita menyeru manusia kejalan Allah Swt. Karena sesungguhnya
tidak samar lagi dari setiap keadaan yang dialami manusia pada masa sekarang,
kini mereka mulai menjauh dari agama. Keadaan seperti ini jelas menuntut
terselenggaranya dakwah yang besar, protes yang keras terhadap segala bentuk
kemungkaran, dan usaha yang giat tak kenal lelah untuk menegakkan kebenaran.
f) Sesungguhnya
disana terdapat jenis kesabaran yang sangat diperlukan pada saat yang menegang,
saat dalam peperangan, saat berhadapan dengan musuh, dan saat bertarungnya dua
barisan dalam kacah peperangan, saat menghadapi orang-orang yang melawan Allah
maka sabar merupakan syarat utama untuk meraih kemenangan dan lari dari medan
perang adalah dosa besar. Oleh karena itu, dalam kondisi seperti tersebut Allah
Swt. Mewajibkan untuk teguh dan pantang mundur.[16]
Dikalangan para sufi, sabar diartikan
antara lain dengan hanyut (fana’) dalam bencana tanpa keluhan. Secara rinci Abu
Nasr as-Sarraj (w.988 M) menjelaskan sabar adalah konsisten dalam menjauhi
larangan dan memegang perintah dan orag yang sabar adalah yang hanyut
(fana’)bersama allah tanpa protes ataupun mengeluh. Jadi sabar sebagai maqam,
lebih diarahkan pada upaya menahan segala rintangan dalam parjalanan menuju
allah, karena lebih bersifat intuitif
dan transendental.
Sabar dalam a’mal al-qulub dimaknai sebagai sikap istiqamah atau konsisten
dalam melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan allah. Menerima segala
musibah dan mampu menahan ajakan nafsu terhadap hal-hal yang dilarang allah.
Kecuali itu disebutkan pula bahwa sabar mempunyai tingkatan berdasarkan ada
tidaknya ruang gerak kebebasan dan ikhtiar manusia. Sabar menjauhi maksiat
lebih tinggi derajatnya daripada sabar menanggung musibah. Sebab yang pertama
mengandung unsur ikhtiar dan kebebasan. Sedang yang kedua tidak demikian karena
suatu musibah jelas diluar ikhtiar dan pilihan manusia. Tingkat sabar pertama
adalah dimiliki oleh para wali allah. Dengan demikian sabar dalam a’mal al-qulub lebih rasional dan lebih empirik dan kontekstual.[17]
Ø Ada
beberapa definisi sabar :
·
Sabar merupakan kemampuan seseorang
dalam mengendalikan dirinya terhadap sesuatu yang terjadi, baik disenangi
maupun dibenci (Abu Zakaria Ansari)
·
Menerima yang terjadi, disebut syukur,
menerima yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan, namanya sabar,
menerima sesuatu yang akan datang, namanya ridlo
·
Sabar adalah keluar dari suatu bencana
sebagaimana sebelum terjadi bencana itu (asmaran)
·
Sabar adalah kondisi jiwa yang terjadi
karena dorongan ajaran agama dalam mengendalikan hawa nafsu (Al Ghazali).[18]
Ø Pembagian
sabar
Ada
ulama yang membagi sabar menjadi tiga:
a. Sabar
dalam musibah, yaitu kerelaan menerima kehendak Allah yang pada awalnya terasa
tidak nyaman, seperti sakit, kurangnya harta, ketakutan, kelaparan, bencana
alam, dsb.
b. Sabar
dalam ibadah, kerelaan melakukan kehendak Allah yang wujud dalam
perintah-perintah-Nya.
c. Sabar
dalam maksiat. [19]
Tiga bentuk kesabaran itu memiliki
tingkatan derajat kebaikan sebagaiman urutan dari a-c. Sabar yang paling berat
dan tinggi derajatnya adalah sabar dalam maksiat, sedang yang paling ringan
adalah sabar dalam musibah. Sabar terhadap musibah sesungguhnya terasa ringan
mengigat banyak orang yang peduli kepada kita, berusaha menolong kita, membantu
melepaskan kita dari musibah. Tetapi berbeda dengan seseorang yang sedang
memerankan diri sebagai pelaku kemaksiatan. Terkadang diri kita menyadari bahwa
yang kita lakukan melanggar norma agama atau masyarakat. Namun kita seakan
berulang kali ditarik untuk kembali melakukanya. Lebih berat lagi kenyataan
yang menyakitkan datang dari lingkungan kita.[20]
6.
Ridho
Ridha adalah kesukarelaan atas apa yang
menjadi ketentuan Allah bagi dirinya, dalam segala hal, yang disertai dengan
kesadaraan akan kekuasaan Allah dalam apa yang terjadi dan berlaku bagi
dirinya. Ridha yang dikuatkan oleh nash ialah
ridha dengan Allah sebagai Tuhan, islam sebagai agama,dan ridha dengan Muhammad
Saw sebagai nabi anutan, ridha dengan apa yang telah disyariatkan oleh Allah
bagi hamba-hamba-Nya dengan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya, mewajibkan
apa yang diwajibkan-Nya, atau membolehkan apa yang dibolehkan-Nya. Ridha kepada
Allah Swt ialah ridha dengan qadha dan qadar-Nya, serta memuji-Nya dalam semua
keadaan dan meyakini bahwa hal tersebut mengandung hikmah belaka meskipun hal yang ditakdirkan oleh-Nya
menyakitkan.
Ridha kepada Allah sebagai Tuhan, ridha
kepada Rasul Saw sebagai anutan dengan penuh kepatuhan dan kepasrahan diri.
Oleh karena itu, barang siapa dapat merealisasikan dalam dirinya ketiga
perkara, yaitu ridha kepada Allah sebagai Tuhan dan sesembahan, ridha kepada
Rasul sebagai anutan dengan penuh ketaatan, ridha kepada agama-Nya dengan penuh
kepasrahan maka dia adalah orang yang benar-benar siddiq. Hal ini memang mudah diucapkan, tetapi sangat sulit
pelaksanaanya.[21]
Menurut al-Junaidi (W. 910 M), arti
ridha adalah meninggalkan usaha (raf’u
al-ikhtiyar). Sedangkan Dzu al- Nun al-Misri (W.859 M) menjelaskan bahwa
ridha adalah menerima ketentuan dengan kerelaan hati. Selanjutnya dia
menjelaskan tanda-tanda orang yang ridha adalah 1) usaha sebelum terjadi
ketentuan, 2) lenyaplah resah gelisah sesudah terjadi ketentuan, dan 3) cinta
yang bergelora disaat terjadi mala petaka.
Pengertian ridha diatas merupakan
perpaduan antara sabar dan tawakal, sehingga melahirkan sikap mental senang dan
tenang menerima segala situasi dan kondisi. setiap yang terjadi disambut dengan
hati yang terbuka bahkan dengan rasa nikmat dan bahagia walaupun berupa
bencana. Suka dan duka diterima dengan gembira sebab diyakini apapun yang
datang adalah ketentuan dari Allah. Para sufi berbeda tentang posisi ridha
sebagian mereka menempatkannya sebagai maqam terakhir dari perjalanan sufi,
karena dipandang merupakan akumulasi dari maqam-maqam sebelumya. Tetapi
sebagian sufi yang lain mengatakan bahwa setelah maqam ridha masih terdapat
maqam-maqam berikutnya seperti mahabbah,
fana’, ma’rifah, ittihad dan seterusnya.
Berbeda dengan pandangan diatas, Ibn
Taimiyyah memandang ridha sebagai moralitas islam yang harus dilakukan setip
muslim. Karena itu dia memandang ridha sebagai amalan batin yang integral
dengan sifat-sifat lainnya. Berangkat dari pandangan ini dia memberi makna
ridha yang berbeda-beda sesuai dengan konteksnya. Misalnya jika dikaitkan
dengan sabar, maka ridha merupakan sabar yang terbaik. Sebab hakikat ridha
adalah sabar dengan tanpa protes dan mengeluh. Jika dihubungkan dengan tawakal
maka keduanya dapat memelihara takdir allah secara benar. Tawakal diposisikan
sebelum terjadinya takdir, sedangkan ridha diposisikan sesudah terjadinya
takdir. Jika dikaitkan dengan mahabbah maka ridha merupakan bagian dari
mahabbah. Dengan demikian, ridha dalam konsep a’mal al-qulub merupakan pengendali batin yang bersifat dinamis dan
empiris tidak sebagaimana ridha dalam konsep maqamat yang bersifat pasif dan
fatalis.
Dalam uraian diatas dapat ditarik
kesimpulan, terdapat perbedaan aspek aksiologi dalam pemikiran tasawuf pada
umumnya. Perbedaan itu terletak pada pengetahuan tasawuf dan pengamalanya
diorientasikan untuk menghayati eksistensi tuhan, sementara pada pemikiran tasawuf
Ibn Taimiyyah diorientasikan pada tujuan menghayati dan mengamalkan
perintah-perintah Tuhan. Maka dari itu, meski dalam konsep maqamat dan a’mal al-qulub menggunakan term-term
yang sama, namun keduanya memiliki kandungan dan implementasi yang berbeda.[22]
Syekh AL-Jailani menyebutkan
tahapan-tahapan agar dapat bersifat ridha kepada Allah sebagai berikut (Futuh al-Ghaib, majlis no. 53):
a. Tidak
mengharap dan mengingat apa yang sudah ditentukan bagi dirinya saja atau apa
yang tidak ditentukan. Sebab, hukuman yang paling berat adalah berussa
mendapatkan apa yang tidak ditakdirkan baginya
b. Hendaklah
dia mementingkan Allah diatas dunia sehingga jika ada pemberian maka itu bukanlah
karena ketamakan diri, bukan menyekutukan penyembahanya karena keterlenaan
diri.
c. Dalam
menyembah-Nya, janganlah menghendaki balasan-Nya karena jika hal itu yang
terjadi maka ibadahnya berarti tidak ikhlas.
d. Orang
yang ikhlas ialah menyembah Allah karena ketuhanan-Nya dan karena memang hanya
dia memiliki hak untuk itu.
e. Karena
semua pemberian adalah karunia-Nya maka sikap yang pantas adalah selalu
bersyukur kepada-Nya dan bukan meminta imbalan atau balasan karena melakukan
ibadah atau penyembahan.
Ridha ditinjau dari penyebabnya adalah sesuatu yang
bersifat kasbiy (dapat diupayakan)
namun jika ditinjau dari segi hakikatnya maka ridha bersifat mauhibiy (karunia Tuhan). Sesungguhnya,
ridha adalah kesudahan dari tawakal. Bila tawakal tidak mampu merealisasikan
yang didambakan maka barulah datang ridha. Orang yang memantabkan langkah
kakinya dengan kokoh dijalan tawakal, niscaya akan meraih ridha. Karena
sesungguhnya, sesudah tawakal, pasrah, dan berserah diri, barulah ridha bisa
didapatkan. Sebaliknya, tanpa melalui proses tersebut, ridha tidak akan
didapatkan.
Ridha mempunyai beberapa kedudukan, antara lain:
a. Ridha
dengan rezeki yang telah diberikan dan dibagikan oleh Allah. Ridha jenis ini
bisa jadi ada sebagian orang awam yang dapat melakukannya dengan baik.
b. Tingkatan
ridha yang lebih tinggi ialah ridha dengan apa yang telah ditakdirkan dan
ditetapkan oleh Allah Swt.
c. Adapun
yang lebih tinggi daripada kesemuanya ialah ridha dengan Allah sebagai dari
segala sesuatu yang selain-Nya.
Kedudukn ini adakalanya
sebagaian orang hanya ampu meraih salah satunya, tetapi tidak mampu meraih
kedudukan lainya. Ada kalanya pula sebagian dari mereka hanya mampu
mendatangkan sebagian dari satu tingkatan tanpa bisa merealisasikan sepenuhnya.
Jadi,intinya adalah
ridha merupakan sikap menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan,
kesengsaraan, dan kesusahan menjadi kegembiraan serta kenikmatan (Simuh,
1998:69), yang dalam bahasa Al-Ghazali disebut sebagai sikap menerima apa
adanya (Imam Al-Ghazali, ihya’ ‘ulum
al-Din: IV, 337) .[23]
7.
Tawakkal
Secara umum pengertian tawakkal adalah
pasrah dan mempercayakan secara bulat kepada allah setelah seseorang membuat
rencana dan melakukan usaha atau ikhtiar. Akan tetapi, dikalangan sufi
pengertian tawakal dipahami lebih mendalam lagi. Misalnya al-Syibli (w.945 M)
mengatakan, tawakkal adalah hendaknya engkau merasa tidak ada dihadapan Allah
dan Allah senantiasa dihadapan kamu. Hal ini berarti bahwa dalam segala hal
baik sikap maupun perbuatan seseorang harus menerimanya secara tulus. Apapun
yang terjadi adalah diluar pinta atau usahanya tetapi semua diyakini dari Allah
semata. Jelasnya harus menyerah secara bulat kepada kuasa-Nya dan jangan
meminta, menolak ataupun menduga-duga. Karena nasib apapun yang diterima pada
hakikatnya adalah karunia dari Allah. Berkenaan dengan hal ini seseorang sufi
Abu-Nasr as-Sarrj (W. 896 M) mengatakan bahwa permulaan maqam tawakal adalah
kesadaran seorang hamba dihadapan Allah laksana mayat ditangan orang yang
memandikan, dibolak balik kehendaknya tanpa bergerak, protes maupun melakukan
tindakan apapun. Kesimpulnya tawakkal sebagai maqam sufi bersifat fatalis, individualis, dan ahistoris.
Pandangan diatas berbeda dengan konsep
tawakal dalam a’mal al-qulub yang
memberikan ruang gerak secara ikhtiyar kepada manusia, meskipun bersama dengan
itu manusia harus menyadari akan kemutlakan kekuasaan Tuhan. Ibn Taimiyyah
menolak tawakal dengan pengertian menyerah total, sebab sikap ini pada
giliranya akan mendorong orang untuk meninggalkan perbuatan yang diperintahkan
dan sebaliknya justru mengerjakan perbuatan yang dilarang serta menghilangkan
perbedaan antara hal-hal yang memang harus berbeda. Sebab baik dalam Al-Quran
maupun Hadis melarang seseorang meninggalkan perbuatan yang diperintahkan
karena percaya kepada takdir dan memerintahkan agar melakukan
perbuatan-perbuatan yang manfaat. Dengan demikian, pandangan tawakal ini
mengandung makna aktif dan dinamis yang berbeda dengan makna
tawakal dalam maqam sufi yang bersifat pasif
dan fatalis.[24]
Sementara menurut Al Quran, seruan kepada manusia
untuk bertawakal kepada Allah dikaitkan dengan berbagai nilai keagamaan dan
kehidupan ( Madjid, 1992:47-48), yaitu:
a.
Tawakal dikaitkan dengan sikap keimanan
kepada Allah (Qs.Al-Maidah:23) dan sikap pasrah kepada-Nya (Qs.Yunus:84)
b.
Tawakal kepada Allah diperlukan setiap
kali sehabis mengambil keputusan penting (khususnya keputusan yang menyangkut
orang banyak melalui musyawarah) guna memperoleh keteguhan hati dan ketabahan
dalam melaksakannya, serta tidak mudah mengubah keputusan itu (Qs. Ali
Imran:159)
c. Tawakal
juga dilakukan agar keteguhan jiwa menghadapi lawan dan agar perhatian kepada
usaha untuk menegakkan kebenaran tidak
terpecah karena adanya lawwan itu, dengan keyakinan bahwa Tuhanlah yang akan
melindungi dan menjaga kita (Qs. An –Nisaa’:81)
Seorang
muslim memandang tawakal kepada Allah dalam semua pekerjaanya bukan sebagai
kewajiban semata, melaikan juga fardu agama yang tidak hanya berkaitan dengan
urusan agama, tetapi juga urusan duniawi termasuk didalamnya. Dengan kata lain,
tawakal tidak hanya berkaitan dengan urusan duniawi dan mencari rezeki semata,
tetapi diharuskan pula dalam masalah beribadah
kepada Allah.
Dengan
demikian, tawakal bagi seorang muslim merupakan bagian dari akidah.
“Dan hanya kepada Allah
hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS.Al-Maa’idah:23)
Melalui
tawakal maka seseorang akan memperoleh berbagai manfaat :
a) Berkat
tawakal kemenangan atas musuh dapat diraih.
b) Mendatangkan
kemaslahatan, menolak mara bahaya dan berbagai macam musibah, serta
mendatangkan rezeki dan mneyegarkan kesembuhan
c) Tawakal
kepada Allah menjadi penyebab bagi kuatnya hati dan kebangkitan semangatnya.
d) Menangkal
keterpurukan psikologi dan ketegangan syaraf.
Dari
berbgai hikmah tersebut, jelas bahwa tawakal merupakan bagian tidak terpisahkan
dari jiwa seseorang yang memperjalankan dirinya menuju Alllah.[25]
[7] Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi. 2010. Ihya
‘Ulumuddin Imam Al-Ghazali. Bekasi: PT Darul Falah. Hal. 545
[11] Said Hawwa. 2010. Tazkiyatun
Nafs Intisari Ihya Ulumuddin. Jakarta: Pena Pundi Aksara. Hal. 351
[12] Said Hawwa. 2010. Tazkiyatun
Nafs Intisari Ihya Ulumuddin. Jakarta: Pena Pundi Aksara. Hal. 352
[16]Sholikhin
Muhammad, 2009, Tradisi Sufi dari Nabi Tasawuf Aplikasi Ajaran Nabi Muhammad
SAW , (Yogyakarta; CAKRAWALA), halm 298-304
[18] Sultoni
Ahmad, 2007, Sang Maha- Segalanya Mencintai Sang Maha-Siswa, (Salatiga-Jawa
Tengah; Stain Salatiga Press), halm 143
[19] Ibid,
halm 153
[20] Sultoni
Ahmad, 2007, Sang Maha- Segalanya Mencintai Sang Maha-Siswa, (Salatiga-Jawa
Tengah; Stain Salatiga Press), halm 154
[21]
Sholikhin Muhammad, 2009, Tradisi Sufi dari Nabi Tasawuf Aplikasi Ajaran Nabi
Muhammad SAW , (Yogyakarta; CAKRAWALA), halm 298-304
[22]
Masyharuddin, 2007, Pemberontakan Tasawuf, (Surabaya; JP BOOKS), halm 235-236
[23]
Sholikhin Muhammad, 2009, Tradisi Sufi dari Nabi Tasawuf Aplikasi Ajaran Nabi
Muhammad SAW , (Yogyakarta; CAKRAWALA), halm 316-318
[24]
Masyharuddin, 2007, Pemberontakan Tasawuf, (Surabaya; JP BOOKS), halm 234-235
[25]
Sholikhin Muhammad, 2009, Tradisi Sufi dari Nabi Tasawuf Aplikasi Ajaran Nabi
Muhammad SAW , (Yogyakarta; CAKRAWALA), halm 286-294
Sering ku baca tentang maqom-maqom di postingan anda.
BalasHapusSampai ku share ulang di blogerku.
Aku terkesan dengan isi bacaan tersebut.
Untuk itu bisa kah anda mengirimi saya email??
di imamsyuhrow@gmail.com
Untuk sharing dan sekedar bertanya-tanya.
Subhanalloh sangat bermanfaat semoga kita digolongkan dengan golongan yg makom maqomnya menuju ridho Alloh
BalasHapusAlhamdulillah, terimakasih penulis karena artikelnya bisa melengkapi pengetahuan saya. Boleh juga mampir di Blog saya tentang "Penakluk Konstantinopel 1453" di penadiksi.com. Terimakasih..
BalasHapusAlhamdulillah semoga tidak ada keraguan di hati saya aamiin ya Allah,terima kasih penulis
BalasHapusBagus
BalasHapus